Catatan Di Tanah Pengabdian

Sabtu, 13 Oktober 2012

Sebuah pengalaman menakjubkan yang mungkin takkan pernah aku bayangkan, kini telah menunggu kedatanganku. Hari itu, aku bersama dengan 100 sarjana muda lainnya yang tergabung dalam program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal, disebar di berbagai pelosok wilayah pedalaman kabupaten Manggarai untuk berbagi ilmu serta belajar menjadi seorang pendidik bagi siswa maupun bagi lingkungan sekitar. Setelah beberapa hari menikmati segala fasilitas perkotaan untuk terakhir kalinya di kota Ruteng, kini aku harus bersiap diri untuk menghadapi tantangan yang telah menungguku di luar sana untuk bisa membaur dalam masyarakat pedalaman Manggarai.

“Mama, nia Pagal?” seorang anak kecil duduk di samping ku dalam sebuah angkutan pedesaan bernama bemo dengan gelisah merengek kepada ibunya dalam bahasa Manggarai, ingin segera sampai di rumah, di Pagal, sebuah desa di sebelah utara Ruteng, ibukota kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, lokasi yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu tahun kedepan. Dengan kondisi jalan yang meliuk-liuk bak seekor ular raksasa, selama sekitar empat puluh lima menit dalam kendaraan yang umum disebut bemo, aku sangat memahami bagaimana perasaan anak kecil ini. Pengap, pusing, dan mual. Aku saja ingin keluar saja dari kendaraan bising ini jika bisa dan akan lebih memilih taksi. Namun, apakah ada pilihan lain? Jika biasanya sopir angkutan memutar musik dengan volume dalam batas wajar, di sini, kita harus berteriak jika ingin suara kita terdengar diantara rimba musik yang membahana di seluruh bagian bemo. Benar-benar membuat pusing.

Namun demikian, mata ku menatap lekat ke arah anak kecil manis ini. Ia terlihat begitu ingin tahu, menanyakan setiap hal yang ia jumpai di sepanjang perjalanan kepada ibunya yang dengan sabar menjawab setiap pertanyaan tanpa merasa terganggu sedikitpun. Dalam benak, aku bertanya, seperti inikah anak-anak yang nantinya selama satu tahun kedepan akan aku ajar? Bayangan ini membuatku semakin bersemangat.

Demi terwujudnya Generasi Emas Indonesia!” Ujarku dalam batin, menyemangati diri sendiri sambil melempar senyum ramah ke arah si kecil itu sekali lagi.

Senin, 15 Oktober 2012

Hari ini, aku mengajar untuk kali pertama, menggantikan guru SM3T sebelumnya yang sedang bersiap untuk kembali ke Jawa. Ia memberikan beberapa informasi mengenai siswa yang akan aku ajar selama setahun kedepan, mulai dari karakteristik hingga kebiasaan mereka selama di kelas.

Pada pertemuan pertama ini, aku bertekad ingin mengenal lebih dekat siswa-siswi baruku. Untuk itu, aku meminta mereka bertanya segala sesuatu yang ingin mereka ketahui tentang aku. Namun demikian, hanya keheningan yang aku dapati. Mungkin jika situasi ini adalah sebuah film komedi, kalian akan bisa mendengar suara jangrik mengerik dengan keras disertai hembusan angin kering yang disertai daun kering yang ia bawa terbang. Tak seorangpun bertanya. Yang lebih lucu lagi (menurutku), sesaat setelah aku mencoba memberikan contoh pertanyaan yang bisa mereka ajukan agar terjadi interaksi dua arah yang efektif seperti pertanyaan mengenai alasan mengikuti program SM-3T, lulusan dari universitas manakah aku, bagaimana aku bisa sampai di Manggarai, dan lain sebagainya, satu tangan akhirnya terangkat. Melihat adanya respon, aku menyambutnya dengan hangat. Dengan suara lirihnya yang mungkin lebih cocok bila aku sebut bisikan, seorang siswa bernama Maria memberanikan diri untuk bersuara.

Pa sudah punya pacar?” ucapnya.

Seisi kelas bergetar oleh suara tawa yang bergema dari ujung ke ujung. Semua orang tertawa terbahak-bahak. Tidak mau turut mengintimidas siswa yang sudah berani bertanya itu, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Baiklah, kalau begitu, saya saja yang bertaya.” Aku memulai. “Karena ini adalah kelas IPS, saya akan bertanya beberapa hal seputar pelajaran IPS.” Kataku sambil menyapu seisi ruangan, mencoba mencari topik pembicaraan yang menarik. Pandanganku tertuju pada sebuah gambar di dinding belakang kelas. “Kalian tahu lambang yang ada di diding belakang kalian itu?” Tanyaku sambil menunjuk gambar lambang PBB yang terpampang gagah tapi lusuh, tak pernah tersentuh. Kelas kembali terdiam. “Siapakah sekjen PBB saat ini?” Lanjutku.

Hening.

Kalau tidak tahu, saya ganti saja pertanyaannya.” Ucapku sambil memutar otak mencari pertanyaan tentang PBB yang sekiranya mereka tahu. “Apakah kepanjangan dari PBB?

Tak ingin kalah cepat dari teman lainnya dan mungkin saja ingin menjaga harga diri jika terlihat tidak tahu, semua siswa di kelas berebut menjawab dan berteriak, “Peraturan Baris-Berbaris!

Kini giliran aku yang terdiam.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dari bayanganku selama ini. Setelah melihat sendiri, aku sadar tugas kami di sini bukan sekedar mengajar, tapi juga membimbing dan membuka wawasan mereka akan ilmu pengetahuan itu sendiri agar mereka tahu bahwa Indonesia tidak hanya seluas halaman rumah mereka, bahwa dunia tidaklah sebesar bola kaki yang biasa mereka mainkan di lapangan sekolah.

Namun, apapun itu, ikrar untuk ikut membangun pendidikan di daerah terpencil harus tetap terjaga, bahkan harus semakin kuat. “Aku harus bisa mengubah mereka yang tidak tahu menjadi tahu.” Janji kecil itulah yang terus terngiang selama hari-hariku tinggal di sana.

Postingan populer dari blog ini

So, Do 'You Think' You Can Tame GG's 'Lion Heart'?

Pendidikan Untuk Semua Kalangan